Tulisan ini sebenarnya mau saya posting akhir tahun 2017, apa daya game ludo lebih banyak menyita waktu disela-sela jagain baby Ayzar (2m6d) & kk Ahdan (3yo) yang lagi common cold.
Jadi ceritanya sejak Selasa 19 Desember hujan deras terus mengguyur Makassar sampai rabu malam. Alhasil rabu malam air depan rumah sudah mulai menggenang.
Kamis jam 4 pagi, pak swami bangun mengecek air. Air sudah mulai masuk garasi. Setelah shalat subuh, mulai deh prepare mengamankan barang-barang. Pengalaman dua tahun lalu, air masuk dalam rumah kurleb 10 cm.
Buku-buku, berkas-berkas, pakaian, mainan anak-anak yang ada di lemari bagian paling bawah segera di amankan. Di naikkan ke atas meja, ke atas lemari.
Sofa di ganjal batu bata 3 susun, mesin cuci & kulkas di naikkan ke atas meja setinggi 70 cm.
Jam 8 pagi, garasi sudah di genangi air. Sesekali menjilat lantai dalam rumah saat ada kendaraan lewat depan rumah bak pantai kena air laut akibat ombak.
Saya bersama anak-anak, naik ke lantai 2. Jam 12 siang air semakin naik, sudah masuk dalam rumah tanpa permisi π’. Di jalan, air sudah setinggi lutut air orang dewasa.
Pak swami sudah niat mengungsikan kami keluar dari rumah, tapi saya masih kekeh tinggal. Makan siang mengandalkan nasi goreng sabili, saya sudah enggan masuk dapur yang sudah tergenang air.
Sekitar jam 5 sore, saya turun ke bawah. Niatnya mau ambil rice cooker, masak nasi di lantai 2. Benar-benar kaget, air dalam rumah sudah selutut. Air samping kulkas terasa hangat, buru-buru saya cabut colokannya.
Sempat masak nasi, kemudian turun lagi ke lantai 1 beres-beres barang karena air banjir semakin tinggi.
Magrib tiba, pak swami memutuskan kami harus segera tinggalkan rumah. Alasan utama, mesin air sudah terendam dan air di tampon sisa sedikit. Alasan lain juga, listrik kemungkinan besar akan di putus.
Lepas magrib, pak swami di bantu adik ipar mengangkut hampir semua isi lemari ke lantai 2. Semua di tumpuk begitu saja.
Setelah semua lemari kosong, packing lah kami untuk mengungsi. Jujur saja saking bingungnya, pakaian yang saya masukkan tidak lagi saya pilih. Yang ketemu mata langsung masuk tas & koper. Alhasil pakaian saya selama mengungsi itu warna warni, atasan biru celana hitam jilbab pink πππ.
Jam 8.30 malam, kami sudah siap berangkat. Kebetulan di rumah saat kejadian ada ipar bersama suami (Rizal)dan bayinya "Afham" (4 bulan), juga ada ibu mertua.
Yang pertama kali meninggalkan rumah itu ibu mertua bersama Abila (11yo) di temani suami-suami yang membawa koper. Mereka jalan dari rumah ke depan kampus STIFA, tempat Rizal memarkir mobilnya. Jarak rumah ke kampus kurang lebih 400 meter.
Pak swami dan Rizal kembali ke rumah, mengambil tas pakaian dan nasi yang sudah sempat di masak. Juga membawa serta Ahdan dengan di soppo (apa sih bahasa indonesianya π).
Air semakin tinggi, batu bata 3 susun yang dipakai mengganjal sofa tidak lagi berfungsi. Sofa sudah terapung, kulkas terpaksa di angkat ke atas meja dapur, di bantu anak muda yang kebetulan datang menawarkan bantuan. Motor di angkut dengan rakit batang pisang. Saya hanya bisa menatap nanar barang-barang yang tergenang air.
Yang terbersit di hati, sungguh manusia tak punya kuasa. Harta tidak bisa di sombongkan. Ketika Allah menghendaki, sungguh sekejap saja bisa hilang. Masih bersyukur bukan api yang datang.
Hampir jam 10 malam, saya dan adik ipar (Ima) siap-siap meninggalkan rumah. Kami menggendong bayi kami masing-masing. Afham anteng di alat gendong, sementara Ayzar menolak pakai gendongan.
Ima duluan turun ke bawah, tapi balik lagi ke lantai 2 karena air sudah sampai di kaki bayi dalam gendongannya. Kami tidak berani menerjang banjir setinggi pinggang dengan bayi dalam gendongan.
Jam 10 lewat, ada tim sar membawa perahu karet untuk mengevakuasi kami dan bayi. Ternyata ibu mertua yang menunggu kami di depan kampus STIFA menginfokan ke tim sar kalau ada 2 bayi di rumah kami.
Saya bersama baby Ayzar & Ima bersama baby Afham di angkut menggunakan perahu karet. Di samping kiri kanan kami ada beberapa tim sar dan beberapa anak muda kompleks memayungi kami dengan karpet plastik yang lebar karena hujan tak kunjung reda. Terima kasih tak terhingga buat mereka.
Sampai di mobil, saya mendapati Abila yang kedinginan karena celana dan sepotong bajunya basah sementara Ahdan duduk tenang di samping sang nenek.
Kami meninggalkan kompleks, mencari tempat mengungsi. Pertama kami ke hotel Arbor di Sudiang, hotel transit murah meriah. Tapi sayangnya sampai sana kamar full, kami bergerak ke arah bawah. Saya ingat ada home stay daerah Sudiang, tapi sampai di sana juga kamar full.
Kami kembali bergerak ke arah Daya, ada hotel daya depan kapolsek Biringkanaya. Tapi belum juga kami masuk, kami lihat di lobby antrian panjang mengular. Sepertinya korban banjir juga.
Kami langsung masuk jalan tol, mencoba peruntungan di hotel Fave dg Tompo, coba telepon tapi kamar full. Anak-anak mulai mengeluh lapar, lihat jam ternyata sudah hampir jam 12 malam. Saya hanya bisa menenangkan mereka, sebentar lagi kita sampai nak..sabar yah. Padahal dalam hati sangat iba lihat mereka.
Coba buka aplikasi Traveloka, kali ini mencoba peruntungan di hotel Amaris pettarani. Beruntung masih ada kamar kosong. Kami segera meluncur ke jl. AP pettarani.
Masuk hotel dengan daster yang basah sepinggang, sampai kamar langsung mandi dettol, makan kemudian tidur. Saat itu sudah Jumat jam 1 dini hari.
Kami balik ke rumah Sabtu siang, air masih menggenang dalam rumah sekitar 5 cm. Di bantu beberapa teman, lantai rumah bersih jam 6 sore.
Setelah itu menjemur, membuang barang rusak, merapikan barang-barang butuh waktu seminggu lebih. Saat tulisan ini saya buat, rumah belum beres 100%.
Berharap tak lagi ada musibah di tahun ini.
0 comments:
Post a Comment
Berkomentar yang sopan sangat disenangi, komentar spam akan di hapus. Thanks!!